Hanya
dengan menunjukkan jari di peta, maka saya dan suami akhirnya
memutuskan untuk mengunjungi Pulau Lembata setelah perjalanan kami di
kota Larantuka selesai, Ritual Semana Santa di Larantuka meninggalkan
kenangan manis di hati, dan saatnya kami pun bergegas merapikan
ransel bawaan dan melanjutkan perjalanan.
Kali
ini, kami akan melangkah menuju Pulau Lembata. Terus terang, saya tak
pernah mendengar nama Pulau ini sebelumnya, saya lebih familiar
dengan Pulau Alor yang segugusan dengan Lembata, hanya yang menarik
perhatian saya adalah saat suami berkata bahwa salah satu kampung di
Pulau Lembata ini yang bernama Lamalera adalah satu-satunya desa di
dunia yang masih memburu Paus sperma dengan cara tradisional. Ahhhh,
pikiran pun sayup sayup mengumpulkan daya ingat nya, memang saya
pernah membaca di blog seseorang mengenai hal unik yang satu ini.
Sangat menarik.
Jadilah
dengan modal tiket Rp.25.000,- kami berangkat dengan kapal kayu
menuju pelabuhan di Pulau Lembata, Lewoleba dari Larantuka. Pelabuhan
yang terapit di antara gunung-gunung tinggi memberikan kesan 'jatuh
cinta pada pandangan pertama'.
Lewoleba
merupakan kota transit yang tepat bagi mereka yang ingin mengunjungi
Lamalera. Sesampainya kami di penginapan di Lewoleba, nampak 2
pasangan asal Prancis yang sedang duduk-duduk santai di depan kamar
mereka, ternyata mereka baru saja kembali dari Lamalera setelah
menghabiskan 5 hari disana. Melalui hasil dari chit chat dengan
mereka, kami pun mendapatkan banyak informasi bagaimana menuju
Lamalera dan rekomendasi penginapan. Mereka berpesan untuk menyiapkan
badan pada saat perjalanan nanti, karena walaupun hanya berjarak
kurang dari 50 kilometer, namun waktu yang dibutuhkan adalah paling
tidak 5-6 jam sekali jalan. Well,
ok bring it on then :)
Kurang
lebih pukul 12 siang itu, bis 3/4 serupa dengan kendaraan van,
menjemput kami di depan penginapan, si supir berkumis tebal tersenyum
menyambut dan mempersilahkan kami naik ke kendaraanya, sambil
menanyakan apakah kami membawa barang bawaan. 2 tas punggung berisi
pakaian untuk traveling kali ini saya titip di penginapan di Lewoleba
saja, saya pikir akan lebih efisien karena toch saya akan kembali
lagi setelah perjalanan Lamelera selesai.
Seperti
biasa, kendaraan di NTT mempunyai kebiasaan untuk menjemput para
penumpangnya, sambil sesekali melewati terminal dan berharap ada
penumpang tambahan, bukan hanya penumpang saja yang diangkut, pak
supir juga berlakon seperti pak pos yang membawa paket-paket titipan
dari kota Lewoleba ke kota Lamalera, dengan hati-hati diikatkannya
paket-paket yang kebanyakkan hasil panen itu.
Jarak
yang kurang dari 50 kilometer dan ditempuh sampai dengan 5 jam
tersebut ternyata bukan isapan jempol, helaan nafas panjang terus
menerus keluar dari hidung dan mulut saya, ini perjalanan gila,
jalanan yang tidak bisa dibilang jalanan ini hancur lebur
sejadi-jadinya, ditambah lagi jalanan yang berkelok-kelok menambah
lagi derita, entah berapa kali saya membenarkan posisi duduk. Tanpa
henti saya mengumpat pemerintah lokal, apa sih yang mereka kerjakan
sebenarnya, jalanan berjarak 50 kilometer saja dibiarkan rusak dan
rakyat harus sengsara karena nya. Coba analisa sendiri saja,
bagaimana kondisi perekonomian bisa membaik jika jalanan yang
merupakan alat bantu kehidupan paling esensial dibiarkan tak
karu-karuan seperti ini. Jika hujan turun, sudah dipastikan jalanan
lumpuh total. Gemes sejadi-jadi nya, entah kepada siapa ingin
mengadu.
Tapi
bukan orang NTT namanya kalau tidak selalu sabar, walaupun jalanan
dengan rute gila ini bikin tekanan darah naik, si supir tetap dengan
santainya mengumandangkan suaranya mengikuti lirik dari lagu yang
diputar dengan volume tinggi dari radio tape...“berapa
puluh tahun lalu, beta masih kecil le, beta ingat tempo itu sioo mama
gendong-gendong beta eeee”
Sesekali kendaraan
harus berhenti karena terhalang dahan pohon bambu, terpaksa supir
harus turun dan dengan dibantu salah satu penumpang untuk menebas
dahan-dahan yang menghalangi jalan tersebut.
Mimpi buruk selama
perjalanan itu terbayar dengan pemandangan laut Savu dari ketinggian
dan karena cuaca yang cerah kala itu, nampak juga gugusan pulau besar
yang ternyata adalah Timor Timur. Indah.
Memasuki desa Lamalera,
akan nampak jejeran tulang tulang kepala Paus, Orka dan Lumba Lumba
seakan mengucapkan “Selamat Datang”. Begitu juga saat saya tiba
di homestay, di halaman belakang selain ada hewan peliharaan babi,
kambing dan ayam yang berkeliaran, terlihat juga tulang-tulang
belakang Lumba-Lumba juga kepala nya yang telah dikeringkan.
Terus
terang Love
and Hate Collide
terjadi di kota ini, cinta karena keindahan alam dan keramahan
penduduknya, namun juga benci karena ritual mereka memangsa dan
mengkonsumsi jenis-jenis mamalia laut hampir punah yang lucu-lucu
ini, seperti di laut tidak ada jenis ikan lain saja. Perlahan tapi
pasti, segenap rasa dan pikiran positif saya coba untuk kumpulkan,
sesungguhnya saya tidak boleh menghakimi kebiasaan dan tradisi orang
lain tanpa mengetahui latar belakangnya, toch saya bukan juri kehidupan yang menghakimi kehidupan orang lain.
Pagi kedua kami terbangun bukan karena merdunya suara ayam jantan berkokok namun karena saut-sautan teriakkan: “Baleooo Baleoooo” - ”Baleo Baleooooooo” dari sepenjuru mata angin, sambil terdengar suara langkah kaki puluhan orang yang bergegas, rasa penasaran dan juga sedikit hati kecut mencoba menganalisa ada apa gerangan di luar sana. “it s not true hah?, they must be saw the whale” kata suami. Anak pemilik homestay pun mengiyakan pernyataan tersebut, menurut nya ada nelayan yang melihat paus sperma dari kejauhan dan maka keriuhan pun terjadi, para nelayan pun berkumpul menuju tempat parkir kapal mereka, membawa nya ke pinggiran bibir pantai dan 16 nelayan yang masing-masing diisi kurang lebih 12 orang segera memulai menyalakan mesin motor kapal dan berlayar menuju tempat dimana si Paus Sperma tersebut terlihat.
Tunggu punya tunggu, saya sabar menanti, kebetulan teras belakang homestay saya ini menghadap langsung ke laut dan perkampungan nelayan tersebut, jadi semua aktifitas dapat mudah terlihat. Sudah 4 jam para nelayan macho tersebut telah meninggalkan desa dan tak ada tanda-tanda mereka kembali with or without the whale. Sekitar 5 jam an , satu per satu kapal pun kembali, kali ini mereka gagal menangkap target mamalia raksasa itu. Dalam hati saya mengucap syukur si paus itu bisa kabur, namun melihat gelagat para nelayan yang lunglai kembali ke rumah mereka masing-masing, rasanya juga tak tega. Mereka punya keluarga yang harus diberikan makan. Suka tak suka, aneh tak aneh, tapi Paus lah menu makanan yang menurut mereka menu mewah.
Tunggu punya tunggu, saya sabar menanti, kebetulan teras belakang homestay saya ini menghadap langsung ke laut dan perkampungan nelayan tersebut, jadi semua aktifitas dapat mudah terlihat. Sudah 4 jam para nelayan macho tersebut telah meninggalkan desa dan tak ada tanda-tanda mereka kembali with or without the whale. Sekitar 5 jam an , satu per satu kapal pun kembali, kali ini mereka gagal menangkap target mamalia raksasa itu. Dalam hati saya mengucap syukur si paus itu bisa kabur, namun melihat gelagat para nelayan yang lunglai kembali ke rumah mereka masing-masing, rasanya juga tak tega. Mereka punya keluarga yang harus diberikan makan. Suka tak suka, aneh tak aneh, tapi Paus lah menu makanan yang menurut mereka menu mewah.
Tradisi
memburu dan mengkonsumsi Paus bukan baru-baru ini namun telah terjadi
sejak abad 16 silam, then
who s to be blame?
Lamalera
pun terbebas dari sangsi dunia Internasional, karena tradisi memburu
Paus ini dilakukan secara tradisional, dan untuk dikonsumsi oleh
penduduk nya sendiri.
Anda
bisa ikut bergabung naik di salah satu kapal yang hendak berlayar
memburu Paus tersebut, dikenakan biaya Rp.100.000,- per orangnya,
siapkan hati dan mental tebal, karena ini perburuan darah dengan
salah satu mamalia terbesar di dunia. Face to face with the whale, are u dare?
Such a great post! Tapi honestly aku miris banget bacanya. Dolphin and whale are beautiful creatures T.T
ReplyDelete@debbzie thanks Deb. Ada saat nya memang ketika kita berjalan, kita harus membuka jubah supaya tidak menghakimi...dilema :)
ReplyDeleteBener itu, kita sebagai traveller harus punya pikiran yang terbuka, ga boleh menghakimi, walau di "dunia" kita itu emang ga bener...walau miris juga sih liatnya :( tapi tradisi ya memang tradisi
ReplyDelete@Aggy : i m with you...:)
ReplyDeleteAAAAAAAAKKKKKKKKKKKK! *nangis kejer lihat lumbah-lumbah-nyah* :"(
ReplyDeleteSaya pernah lihat dokumentarinya hunting HANYA 6 paus dan dibagi untuk seluruh penduduk desa. Mereka pakai semua bagian dari paus yg ditangkap - jadi tidak ada satupun bagian yg dibuang.
ReplyDeleteMenurut saya, mereka memang memburu paus bukan untuk komoditas seperti pemburu ikan ilegal lainnya tetapi desa ini memburu paus untuk bertahan hidup bukan foya-foya seperti para pengkonsumsi hiu atau hewan exotic lainnya.
I am a life-time animal lover but I respect their tradition even though I do not consume meat in general ;-)
I meant - hunting 6 ekor paus untuk 1 tahun ...
ReplyDeleteKasihan banget lumba-lumbanya...hiks...
ReplyDeleteKampung ini masih menjadi tugas berat bagi lembaga konservasi untuk meyakinkan masyarakat supaya meninggalkan tradisi kunonya, kak...
Semoga ada titik terang di antar keduanya.
Lamalera, daerah yang memiliki dua sisi "kehidupan" yang berbeda, orang memandang dengan dua sudut pandang yang berbeda, pemahaman yang berbeda pula... klasik... karena point of view dari sisi budaya & konservasi belum ditemukan titik temu nya.
ReplyDeleteTapi saya berada di posisi yang tidak setuju dengan perburuan paus, manta & lumba² di Lamalera. Saya bukan aktivis lingkungan yang gencar memperjuangkan konservasi, saya menghargai budaya & adat istiadat masing² daerah di Indonesia. Perburuan paus di Lamalera terus terjadi karena alasan alasan sudah menjadi adat leluhur yang turun temurun. Tak bisa dihitung lagi berapa paus, lumba² dan manta yang mati dihujam tempuling para lamafa dari atas peledang…
Meskipun ada pembatasan penangkapan paus dalam setahun (misal hanya 6 paus per tahun) tapi... kalau di logika, berapa puluh tahun yang dibutuhkan untuk seekor paus beranak pinak meneruskan generasinya? apabila dibiarkan, lama² paus akan punah. (iyaaa saya tahu, nggak cuma di Lamalera aja yg punya tradisi menangkap paus & lumba²). Paus, lumba² dan manta masing² memiliki peran penting dalam rantai makanan & keseimbangan ekosistem laut.
Solusinya, dilakukan pendekatan secara cultural, social & religi (mungkin) oleh semua pihak termasuk pemerintah, kepada masyarakat Lamalera untuk membuka wawasan mereka tentang adat istiadat menangkap paus. Masyarakat Lamalera bisa diajak untuk mengoptimalkan potensi wisata desanya, sehingga mereka bisa "hidup" dari sektor pariwisata tanpa menangkap paus & lumba² lagi.... Toh budaya juga hasil kreasi manusia, bukan? jadi bukan harga mati... budaya itu berkembang seiring kemajuan jaman. Jadi mari berbudaya yang baik demi kelangsungan kehidupan di bumi pertiwi :D
kasian liat lumba2 nya di foto, eh tapi artikelnya tentang pemburu paus kan ya, koq ada foto lumba2 mati juga :( *jgn2 itu paus kecil haha*
ReplyDeletehttp://sfglobe.com/?id=2021&src=share_fb_new_2021 nih serem lagi pembunuhannya massal
ReplyDeleteMalam mas Dn salam kenal. Mas ada kontaknya bapak supir travel itu gk mas ?!
ReplyDelete